Mendaki gak seindah foto sista-sista selebgram

Mendaki gunung sudah mulai terjadi pergeseran makna dari petualangan, hobi, hingga kini menjadi eksistensi, dari yang hanya sekedar liburan menjadi cari stok foto buat upload dan juga endorse. Yup, mau eksis ya naik gunung. Hal ini tidak bisa dihindari era teknologi dan sosial media sangat mengakomodir untuk itu. Berbekal kamera DSLR, atau kamera smartphone kekinian ditambah efek dari software pengolah foto macam  photoshop dsb menjadikan foto pemandangan gunung menjadi luar biasa, ditambah dengan model mbak-mbak cantik yang bikin para viewer berpikir “ko gue gak pernah nemu yang beginian waktu naik gunung”, “kapan ya bisa ketemu yang kayak gini di gunung”.

Mendaki itu butuh proses yang gak sedikit dan gampang. Mendaki itu capek, berat, lelah, ribet, sakit, rusuh dsb. Kalo temen-temen mencoba naik gunung atau yang sudah sering mendaki pasti akan berfikir, apa yang tertampil di feed instagram tak seindah aslinya, dan apa yang dialami saat mendaki tidak sekeren apa yang ada di instagram. Karena sejatinya para viewer and followers tidak mengetahui apa yang terjadi untuk dapet foto sebagus itu.

Bangun dini hari ngantuk-ngantuk harus prepare dan berangkat buat summit, sampai puncak kabut tebel gak keliatan apa-apa. Celana robek gegara banyak batang pohon melintang jadi harus lompat kesana kemari, belum duri, pacet, tanaman gatel yang gak akan pilih-pilih korban buat nancep, masih bagus cuaca cerah, kalo hujan? Basah, licin lumpur, kepeleset jatoh bukan ditolongin tapi diketawain.

Sampai tempat camp, frame tenda ketinggalan (ini saya belum pernah, hehe), tenda bocor, becek, dingin, jomblo (sedih banget klo ini). Belum lagi ancaman hipothermia, kedinginan, masuk angin, dan kelaparan. Pengalaman pribadi 3 kali saya masuk angin di gunung yang bikin gagal summit, latimojong, slamet dan rinjani, karena dari malam sampe pagi curhat ngobrol sama kantong plastik, rasanya ga enak banget.

Yang ditampilkan di akun selebgram juga gak semua, dibalik keindahan itu terdapat pojokan semak-semak yang banyak bekas tissue basah plus dengan “isinya”. Disisi lain ada juga area dengan aroma semerbak dari “cairan” manusia yang berasal dari berbagai penjuru negeri. Sampah? Jangan tanya kalo yang ini.

Bohong klo habis naik gunung kaki gak pegel, betis gak kenceng, pundak jadi gak bisa buat bersandar. Jangankan buat bersandar dipegang aja sakit, yang mau bersandar juga ga ada (hiks). Penampakan sehat, wajah ceria berseri, coba liat jempol kakinya. Memar membiru merona, kapalan, lebih parah lagi kuku lepas dari peraduannya adalah hal yang umum terjadi.

Intinya mendaki itu gak sekedar apa yang ada di sosial media, butuh persiapan matang dari fisik, perlengkapan, logistik dan financial. Meskipun begitu, mendaki tetaplah mendaki, akan ada banyak cerita pengalaman dari setiap pendakian, yang menurut saya lebih menarik untuk ditampilkan dari pada foto mbak-mbak yang minta dihalalkan.

Leave a comment